Thursday, November 2, 2017

Landed

"The moon has come and it landed on the peak of the green mountain with the field of edelweis surrounded by the ocean of emotions."

Sunday, August 13, 2017

Nawangwulan kepada Jaka Tarub

Malam ini purnama tinggi menghias langit malam tanpa bintang. Purnama begitu terang seakan menghisap seluruh cahaya hingga sekitar jadi gelap, memenangkan langit yang tunduk pun patuh. Namun sekonyong-konyong dari kejauhan tampak tujuh bintang. Bintang – bintang itu meluncur kian dekat menuju daratan. Tujuh bintang itu ternyata merupakan ketujuh kaka-beradik bidadari yang turun dari khayangan. Sinar berpendar ketika ketujuhnya terbang. Malam ini malam purnama, ketika bulan sedang cantik-cantiknya, para bidadari turun untuk nikmati keindahan dan meresapi bening air yang tergoda oleh pantulan sang raja malam. Tujuh bidadari itu begitu rupawan dengan alis bagai semut berbaris, mata bagai sepasang purnama dan bibir bagai merah anyelir. Ketujuhnya terlihat asyik dengan obrolan sambil membiasakan diri pada daratan. Kakak beradik bidadari hendak mandi di telaga tersembunyi, tersimpan di antara pepohonan, di antara ranting dan tenggelam di antara rimba daun daun jati. Satu demi satu menanggalkan pakaian, dan perlengkapan yang disandang. Begitu pun Nawangwulan, si bungsu yang selalu ingin tahu. Malam ini pertama kalinya Nawangwulan singgah ke bumi, melakukan ritual kedewasaan dengan mandi menapak bumi di bawah sinar rembulan. Nawangwulan begitu bersemangat, menyentuh permukaan air telaga yang memantulkan alam sekitar, “ah begini air bumi. Terasa berbeda dari air di khayangan.” Ia tersenyum sambil membasuh muka. Kemudian satu per satu saudara perempuan Nawangwulan memasuki telaga, meninggalkan Nawangwulan yang agak gugup karena begitu bersemangat. “Kemari Nawangwulan,” kakak tertua memberi lengannya sebagai tumpuan Nawangwulan agar tidak jatuh. Ia pun mencelupkan telapak kakinya dan sedikit menyeringai geli, keenam kakaknya tertawa melihat kepolosan Nawangwulan. Akhirnya ia menenggelamkan seluruh tubuhnya, membiarkan permukaan kulit mengecap dinginnya air telaga. Saat Nawangwulan dan keenam kakaknya bermain di telaga, 



Jaka Tarub telah lelah menangisi kepergian seorang wanita yang ia cinta, ibu. Jaka Tarub tidak hanya merasa sepi yang teramat sangat, tapi juga kekalutan. Ketika ibu hendak akan tiada, ia berpesan lirih, pesan yang berdengung di tulang telinga Tarub muda : “Aku ingin kau segera beristri, Tarub. Jangan sampai kau pelihara dirimu dalam kesendirian lebih dari satu kali bulan purnama.” Namun Jaka Tarub tidak sempat menyanggupi permintaan ibunda. Sang Hyang mengambilnya lebih dulu. Seberapa erat Tarub memeluk tubuh ibu, jiwanya tak mampu bersatu raga lagi. Untuk mengusir lara, Tarub beranjak dan membiarkan kedua kakinya berjalan tanpa arah. Walau sungguh amat berbahaya lalu lalang di hutan semalam ini, Tarub tak peduli. Ia tidak tenang berada di dalam desa sepeninggal ibu. Ditambah desas-desus warga yang mengembuskan kabar tak sedap tentang betapa arogannya Tarub, ia tambah tak peduli. Dahulu Jaka Tarub dikenal sebagai lelaki gagah, pintar dan mencintai ibunya. Warga desa berlomba – lomba mengawinkan putri – putri mereka dengan Jak Tarub namun tiada yang berkesan di hatinya. Penolakan itu membuat orang-orang, khususnya petinggi desa sakit hati dan menghembuskan kabar tidak sedap secepat angin gunung : “Tarub yang pintar dan rupawan namun menderita penyakit kelamin yang memalukan.” Bagaimana tidak Tarub berpikir semakin sulit ia menemukan pendamping jika gadis – gadis desa menatapnya dengan bergidik dan kepala miring. Di saat hati Tarub makin berkabut oleh kalut, gendang telinganya menangkap tawa-tiwi renyah. Tawa perempuan. Lalu dengan langkah seribu ia mencari sumber suara sampai ditemukannya telaga dengan tujuh wanita. Melihat cahaya yang berpendar mengelilingi mereka, ia sadar ketujuhnya bukan wanita biasa. Malam itu, Jaka Tarub tahu apa makna jiwa bergelora, darah berdesir. Tidak pernah ia merasa haus dan lapar akan wanita seperti ini. Di sebelahnya terdapat pakaian dan selendang sutra warna merah menyala dengan payet permata harum bunga tujuh rupa. Ia terdorong untuk mengambilnya tapi tiba-tiba sepasang mata menangkap kedua mata Tarub muda. Hampir saja jantungnya loncat. “Ma-maaf,” ucap Tarub kepada pemilik mata sambil menyerahkan selendang kepada empunya. Ia begitu malu hingga mewarnai merah muka sampai telinga. Wanita di depannya tidak bersuara. Ia malah mendorong pelan tangan Tarub dan membuatnya makin erat menggenggam selendang tersebut. “Nawangwulan, tunggu apa lagi? Sebentar lagi cahaya bulan akan menghilang, kita harus segera pulang!” Nawangwulan kemudian berteriak, “Aku tidak dapat menemukan selendangku! Kakak tahu apa yang akan ayahanda lakukan jika aku pulang tanpa selendang menghiasi pinggang. Aku bisa celaka!” Kakak – kakak Nawangwulan saling berpandang resah. “Biar kami bantu mencari..” mendengar itu, Nawangwulan langsung berujar, “..jangan kakak berkorban demi aku. Kakanda sekalian hendaknya tinggalkan aku, pasti akan kutemukan. Aku akan pulang pada purnama mendatang.” Keenam kakak hanya dapat memandang si bungsu gundah. Mereka merasa serba salah : ingin tinggal tapi nanti hukum yang akan mereka lawan. “Akan kupikirkan alasan yang dapat meredam murka ayahanda. Namun kau harus berjanji akan pulang.” kata kakak tertua memeluk Nawangwulan, diikuti saudaranya yang lain. Satu – satu mereka terbang perlahan menuju khayangan, meninggalkan Nawangwulan dengan Jaka Tarub yang menggenggam selendang merah dengan wajah semakin merah. Lalu di antara keheningan hutan, Nawangwulan bersuara, “Aku ingin kau melakukan sesuatu.” 


*** 


Sudah hampir penuh purnama Jaka Tarub mengajari Nawangwulan segala hal tentang manusia dan dunia walau terbatas pada hanya yang ia ketahui. Ia juga mengajarkan keterampilan memasak, menyiangi rumput bahkan berladang pada Nawangwulan. Tidak hanya Nawangwulan tetapi Jaka Tarub pun sedikit diberi pengetahuan megnenai khayangan walau terbatas hanya yang boleh Jaka Tarub ketahui. Keduanya bertukar pikiran dan tidak memedulikan pendapat warga sekitar yang kembali mendengungkan desas-desus melihat Nawangwulan mengisi kediaman Jaka Tarub. Jaka Tarub ialah guru yang baik pun Nawangwulan sebagai murid selalu bertanya dan menjawab apa yang diucapkan Jaka Tarub. Namun tidak untuk tanda tanya yang lebih merupakan penekanan bahwa malam ini akan jadi malam terakhir Nawangwulan di bumi. "Malam ini kau akan pulang?", tanya Tarub. Nawangwulan tidak menjawab. Ia hanya terus mengiris bawang hingga tipis sampai tak sengaja kulitnya pun beradu dengan tajamnya pisau. Ia pun tersentak. Tarub dengan sigap memeriksa jemari Nawangwulan tapi ia tak dapat menemukan luka secuil pun. “Tarub, kau harus ingat. Aku bukan manusia.” Tarub pun tersenyum ganjil. Ia sudah terbiasa dengan Nawangwulan yang berperilaku seperti manusia. Nawangwulan lama yang belum tahu menahu tentang dunia sudah lama ia lupa. Melihat Tarub bermuka pundung, Nawangwulan mengusap kepalanya. Ia menaruh kasihan pada Tarub, seorang lelaki sopan dan rupawan. Selama Nawangwulan tinggal di bumi, tak sedikit pun Tarub menyentuhnya bahkan membiarkan matanya berkelabat lama pada raga Nawangwulan. Dalam hati, Nawangwulan mendoakan hal baik kepada Sang Hyang untuk Jaka Tarub tersayang. 


*** 


Selendang merah telah menghiasai pinggang Nawangwulan, bidadari bungsu yang selalu ingin tahu. Ketika matahari kembali ke paraduan, ia dan Jaka Tarub berangkat ke hutan agar tidak terlambat menemui purnama tinggi. Sebelumnya, Jaka Tarub mengajak Nawangwulan mengunjungi makam ibunda. Ia mengenalkan Nawangwulan pada ibunda yang mungkin akan ia temui nanti di khayangan. Saat memulai perjalanan, Jaka Tarub meminta izin untuk menggengam tangan Nawangwulan dan ia pun mengangguk. Lalu mereka berjalan menyusur hutan lewati semak belukar. Di tengah perjalanan, mereka beristirahat di pondok reot. “Selama ini aku tidak pernah menanyakan alasanmu ingin berada di bumi. Hari ini aku bertanya : mengapa?” Jaka Tarub mencari sepasang mata untuk ditanya. “Bukankah aku pernah bilang padamu, aku jenuh akan kesempurnaan khayangan. Dari atas, aku melihat kalian bersusah dan terjatuh tapi kemudian bangkit dan berusaha. Aku iri dengan ketidaksempurnaan kalian. Kami para makhluk khayangan hanya menjentikkan jari dan segala yang diinginkan langsung berada di hadapan kami. Bayangkan, betapa jenuh hal itu. Dan lagi…” sepasang mata yang tadi dicari Jaka Tarub menjawab balik, “..aku penasaran dengan ketidaksempurnaan manusia yang buta oleh nafsu.” Cepat Jaka Tarub membalas, “Maksudmu?” Nawangwulan tidak mencabut pandangannya dari mata Jaka Tarub.” Kami para makhluk khayangan hanya menyerahkan diri pada sang Hyang, melupakan diri dari hal tabu yang dapat mengganggu cinta kami pada-Nya.” Angin berembus melewati daun-daun pohon jati yang mulai meranggas, Nawangwulan melanjutkan, “..Aku ingin tahu, apakah aku punya hal itu. Yang kutahu, saat kuiintip wanita dan lelaki bercinta, ada desir yang menjalari tubuhku. Apakah itu karena angin malam hingga bulu roma-ku berdiri atau..” Mata Jaka Tarub tak lagi berani mencari sepasang mata. Kini ia sibuk menyembunyikan hal yang ia pikir seharusnya tidak pernah muncul di permukaan. “Namun aku melihat kau tak pernah menyentuhku barang sedikit pun. Aku kira hanya kami yang dapat melakukannya. Kau pria manusia yang langka untuk ditemui.” Nawangwulan kemudian menyadari Jaka Tarub yang tidak lagi biasa. “Jadi kau datang padaku untuk menguji? Diam aku menahan diri untuk apa? Aku tak lagi dapat membedakan antara setan atau bidadari.” Nawangwulan terpukul mendengarnya, tapi ia dapat menangkap ada rasa sesal di hati Tarub. Bukannya marah, ia merasa iba. Betapa ia menyesal membuat Jaka Tarub berpikir demikian tentangnya terlebih saat ia teringat akan Jaka Tarub yang sebatang kara. Ia takut Tarub akan menyimpan segalanya sendirian. Nawangwulan pun mengusap kepala Tarub. Jaka Tarub bergetar. “Tak bisakah kau tinggal lebih lama?” ujarnya seketika. “Kau tahu Tarub, hukum berada di atasku. Satu kali aku berkata tak jujur pada kakanda yang kucinta. Aku tak mau melanggar hukum lebih lagi.” Jaka Tarub kini memandang tajam pada Nawangwulan, “Sebentar tadi kau bilang penasaran dan sebentar lalu kau bilang kau tidak ingin melanggar aturan. Apa sebenarnya yang kau inginkan? Jangan kau biarkan aku larut dalam kebingungan.” Nawangwulan mengernyitkan dahinya, “Aku tak tahu. Aku benar-benar tidak tahu.” Jaka Tarub berteriak kencang mengejutkan Nawangwulan, kemudian ia diam di sudut pondok. Nawangwulan mengusap kepala Jaka Tarub kembali. Ia menangis. Ia mengusap helai – helai rambut legam Jaka Tarub dengan menangis sambil menyanyikan tembang macapat : . Seketika tangan Jaka Tarub bertemu tangan Nawangwulan. Bibirnya pun bertandang pada bibir Nawangwulan. Bendungan yang tadi tampak kokoh, kini hancur membiarkan alirannya deras membasahi belantara hutan hingga masuk ke lorong gua terdalam. Malam itu purnama tinggi memantulkan cahaya pada telaga, tapi Nawangwulan tiada di tempat. Jaka Tarub, pemuda desa yang gagah dan rupawan dan Nawangwulan, bidadari bungsu yang ingin tahu malam itu tidak ada sekat antara keduanya. Yang tidak Nawangwulan ketahui bahwa Sang Hyang mengabulkan doanya agar Jaka Tarub selalu diberikan kebahagiaan untuk hari ini dan hari – hari selanjutnya. Rahasia alam membungkus keduanya dalam pondok beralas tikar saat bulan purnama sedang cantik – cantiknya.

Thursday, July 28, 2016

Selepas Lulus, Terjun dan Terbang lah!

Saya sudah menjadi sarjana. Lepas satu tanggungan orang tua. Saya teringat pada hari H sidang, rabu 29 Juni 2016, begitu buka pintu, berhambur orang-orang menyatakan selamat, termasuk ayah dan ibu. Mereka yang biasanya begitu malas menjamah Depok pun datang untuk merayakan lolosnya saya dari kursi panas. Sampai-sampai, saat mengantar semua tete benge perayaan (selempang, piala, dll.), si Bapak tukar baju dengan batik untuk berfoto denganku di depan tulisan Fakultas Psikologi. Senang saya melihat ia senang. Lucu betul. Malam itu saya tidur dengan nyenyak dan mimpi indah.

Mimpi indah saya tidak lama. Begitu bangun, revisi menunggu untuk dikerjakan, tugas kantor pun harus diselesaikan, dan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan harus dijawab (atau sekedar dibuat bungkam sejenak). Menyenangkan melakukan semuanya tapi manusia memiliki batasan. Omong kosong jika ada yang menganggap batasan itu tidak ada. Batasan adalah yang membedakan manusia dengan Tuhan. Batasan pula yang membuat segala sesuatu jadi punya harga. Manusia mati karena terbatas waktu, jadi mereka yang sadar itu pun lebih menghargai hidup (namun saya tidak bilang kalau batasan itu tidak bisa ditekan loh ya). Pilihan yang saya ambil pun harus berdasarkan premis tersebut bahwa waktu dan tenaga saya terbatas, jadi mari membuat The BIG Plan.

The BIG Plan sama seperti cita-cita sama seperti visi. Seharusnya ia sederhana, jelas dan mudah ditakar. Saya tidak akan memberitahumu apa tujuan hidup saya karena tentu akan kehilangan seninya. Saya hanya akan menceritakan proses, pertimbangan dan sedikit clue. 

Waktu itu bos saya mengajak ngomong serius. Status magang saya ingin diubah jadi status karyawan. Saya agak deg-deg an dengan proses pertama jadi orang profesional (sebenarnya tidak juga sih, berlebihan sedikit lah). Saya tidak mau salah langkah sehingga jawaban pun saya tunda hingga pekan depan. Selama seminggu tersebut saya buat janji temu dengan senior dan rekan-rekan sebagai bahan pertimbangan keputusan, juga dengan melihat tanda-tanda sekitar (maksudnya pola peristiwa, bukan hal yang keramat ya). Namun tetap, keputusan berada di tangan saya.

Pertimbangan pengambilan keputusan ialah visi, umur (tenggat waktu), karier ke depan dan seberapa sesuai karier dengan potensi. Kurang lebih pembahasannya dari umum-khusus yang berpatok pada visi dan khusus-umum yang berpatok pada minat danpotensi, lalu kemudian rentetan prosesnya akan tergambarkan. Karena di awal saya sudah bilang akan merahasiakan visi, maka visi akan diwakilkan dengan clue, yaitu bertualang, ilmu pengetahuan dan keluarga. Dari ketiga hal tersebut, saya pun menemukan jawabannya. Kemudian dari potensi dan minat saya, hal yang tercetus ialah : interaksi dengan masyarakat, output berupa tulisan, hal-hal yang berkaitan dengan seni, budaya dan dunia pendidikan anak dan remaja serta Indonesia. Dari hal-hal tersebut pun saya menemukan jawaban. Setelah itu, saya mensintesa keduanya hingga terdapat kesimpulan berupa pekerjaan yang sesuai untuk saya. Kemudian, dijabarkan lagi dalam bentuk target yang harus saya lakukan di tiap tahunnya. Setelah itu, saya siap memberikan jawaban.

Pada akhirnya, saya mengambil resiko dengan meninggalkan suatu zona di titik paling aman dan nyaman. Di satu sisi saya bersemangat. Di sisi lain saya harus terus ingat, bahwa di luar zona nyaman merupakan zona pertaruhan : you win or you lose. Tugas saya sekarang yang paling menantang ialah merawat kendaraan berupa konsistensi, daya juang, dan jaringan. Kendaraan tersebut harus cukup baik untuk dapat mengantarkan saya sampai ke ujung perjalanan.

Wass.

Bismillahirrahmaanirrahim.


Tuesday, September 1, 2015

Getir

Aku letih merasa getir
Kuangkat tangan dan melipir
Kulihat segerombolan mereka berlari ke arah sana. Satu titik. Entah kemana. Sebagian dari mereka tertatih, berwajah sedih. Sebagian menyimpul senyum, tampak yakin. Sementara aku masih berwajah keruh. menatap heran akan kesediaan mereka untuk tetap laju dan heran pula pada hentinya langkahku. Barusan aku merasa getir. Getir yang melintir. Ah aku tak tahan.Namun berbalik arah merupakan hal yang mubazir dan langkah ke depan sungguh melelahkan. Baik, biarkan aku rehat sejenak. Sambil terduduk berpeluh aku lihat mereka sudah berpasang-pasang. Waktu menuntun mereka menemukan satu sama lain. kadang waktu pula yang memisahkan dan menjauhkan. Walau nantinya mereka akan bertemu lagi. Mungkin.

Aku perhatikan kembali satu satu. Ada yang bergerak cepat berganti-ganti tempat menebar kotoran seperti lalat yang hinggap seenaknya tanpa malu mengurat. Namun langkahnya kemudian melambat dan ia pasrah, dan ia menerima. lalu ia berjalan lurus. lurus dan damai. Ada pula yang buta dan dituntun dengan baik, tapi ada yang tidak. Yang jelas mereka mengarah ke satu titik, begitu silau hingga tidak ada yang tahu hal apa yang ada setelahnya. Mereka melaju. Segerombolan dalam arus utama, arus terbanyak, sang mayoritas. Baiklah, aku akan berlari atau berlayar. Sebentar lagi. Aku rehat sejenak mempersiapkan peralatanku yang rusak karena termakan getir. Barusan tadi. Getir yang melintir.

Thursday, August 20, 2015

Dendam

Peluru hitam kusimpan
di peti besi gudang terdalam
dindingnya dihiasi batu batu kemegahan

lalu lama
lama berlalu
peluru hitam tetap ada
dan selongsong tetap kujaga

satu peluru
yang legam dan mantap
menanti tuk diluncurkan

satu peluru
berisi titik nadi angkara
kupelihara ia kusayang
kuberi makan agar semakin hitam
sampai nanti ia rela dilepaskan

Saturday, July 18, 2015

Ied Mubarak 1436 H

Let us be 
as pure 
as fitrah
as suci

as a newborn

Back to what we used to be
Back to the road we meant to walk on

Happy Eid 1436 H

God Bless Us

Let's begin the journey :) 

Tuesday, April 21, 2015

Perempuan di Sudut Ibukota

Gelap perlahan berganti terang. Ayam-ayam pekarangan panti wreda berkokok memeriahkan kandang. Ikan-ikan mas di akuarium sederhana berenang-renang riang, mungkin senang sebab hari baru telah datang. Terangnya matahari mengintip tirai kamar-kamar para lansia yang masih manja memeluk kasur. Terangnya matahari memberi hangat bagi pagi para perawat untuk mengabdi, tak terkecuali Arum. Pagi ini seperti biasa, Arum dan para perawat lainnya membuat bubur sebanyak dua panci penuh untuk mengisi perut kosong para manula. Manula yang berada di panti wreda pinggir kota tersebut. Tempat Arum mengabdi bertahun-tahun, mengurus mereka yang terasingkan zaman, mereka yang terlupakan arus kehidupan.
Selagi membuat bubur, beberapa perawat lainnya membangunkan para nenek-kakek untuk sarapan dan sedikit berolahraga. Nenek Ningsih, Kakek Suep, dan kawan-kawan, sarapan ditemani sedikit canda dan adu cerita tentang anak-anak mereka yang minggat, tentang keperkasaan yang pernah ada, tentang cinta dan gelora yang pernah membara. Saat yang lain berebut cerita, Nenek Rifa menjauh meninggalkan mangkuk bubur dan keramaian, seakan acuh tak acuh pada sekitar. Ia warga baru di sini, minggu lalu anaknya pergi meninggalkan rumah untuk kawin lari. Para perawat membujuk Nenek Rifa untuk makan, bahkan sampai sedikit memaksa. Hal itu dilakukan demi menjaga kesehatan beliau. Namun tetap saja, Nenek Rifa menutup rapat mulutnya sampai merengek dan mengisak. Arum menatapnya iba. Ia merasakan Nenek Rifa. Perasaan dicampakkan, perasaan kesepian, perasaan ditinggalkan, yang dapat dengan kuat dirasakan Arum karena ia tercipta sebagai wanita, makhluk yang peka. Arum menghampiri Nenek Rifa dan memeluknya erat. Terasa hangat pada raga tua ringkih yang gemetar itu. Arum merasakan hangat pada pipinya, basah oleh air mata. Diusapnya helai-helai uban yang ada di pelukannya. Diusapnya jiwa-jiwa yang menceritakan emosi berwarna. Diusapnya keriput yang  pernah matang dan muda. Wanita di mataku ialah wanita yang tulus dan penuh kelembutan, menyelami maksud hati para insan.
Matahari menyengat kulit warga ibukota. Semua mengeluh akan terik siang ini, mengeluhkan kucur keringat dan basah ketiak, mengeluhkan kulit yang menghitam karena terpapar. Saat sengat matahari itu dikeluhkan, Bu Imah menyukurinya. Ia bersyukur kepada Tuhan yang membiarkan sinar matahari mengeringkan kulit sapi yang telah dijemur dari pagi untuk diolah menjadi kerupuk. Kulit-kulit sapi yang akan menjadi uang untuk pengobatan suaminya, kulit-kulit sapi yang akan membuat anak lelaki semata wayangnya bersekolah.
Setelah dijemur hingga kering, kulit itu pun digoreng dengan minyak baru. Bukan minyak jelantah atau minyak bekas gorengan yang tentu lebih murah dari minyak yang dijual Ko Lim di gang muka rumah, melainkan minyak baru! Ya, minyak baru yang membuat beberapa tetangga sesama penjual kerupuk kulit menggunjingkannya. “Sok!”, kata mereka. Namun Bu Imah bergeming. Ia tak mau berkah yang nanti ia dapat timbul dari keuntungan yang merugikan orang lain. Ia ingin para pembeli kerupuk kulit itu turut mendoakan pembuatnya seperti saat tangannya letih mengemas berkilo kerupuk sambil melihat sang suami tergolek di sudut ruangan, atau saat melihat anaknya belajar berhitung dengan satuan kulit-kulit kering di muka rumah akibat tunggakan sekolah terlambat 3 bulan. Terkadang mata Bu Imah mengalirkan air mata putus asa, tapi kemudian ia bersenandung. Menyenandungkan masa depan. Menyenandungkan harapan. Wanita di mataku, ialah wanita tangguh, kuat dan sabar.
Jingga menampakkan siratnya, memantulkan cayaha keemasan pada dinding-dinding sekolah, pada manusia muda berseragam putih abu yang berhamburan keluar ruangan. Mereka meregang otot tubuh yang kaku karena lama duduk menunduk meraba lembaran ujian, memanggil kembali materi hasil belajar hampir tiga tahun ini. Pemuda pemudi itu tertawa, mengeluh, mencari, bergumam, termasuk Dhia dengan darah mudanya. berteriak kemenangan. Kemenangan atas persidangan meja makan. Tadi malam ia telah menuntut haknya, menjadi sesuatu yang ia inginkan sejak lama, yang sudah ia pikir masak-masak, yang sudah ia hitung sedemikian rupa. Ia akan menjadi guru sekolah dasar, berharap mampu memupuk bibit-bibit negara agar menjadi bunga nan harum kelak. Untuk itu, ia akan melanjutkan pendidikan yang mendukung citanya. Namun, baik ayah maupun ibu bersikap antipati. Melihat mimpinya dari kacamata yang hilang sebelah. Tak berprospek, mereka kata. Gajinya kecil, tambah mereka. Kau hanya terbuai utopia-mu saja!, putus mereka. Kemudian, dengan lihai, ia keluarkan senjata pamungkasnya. Dhia menodongkan proposal akan mimpinya, penghayatan akan tujuan keberadaannya di sini. Ia jjabarkan secara lengkap alasan, tujuan, potensi kendala, solusi, serta alternatif. Ayah ibu tercengang dan malu, sadar telah membungkus anak emasnya dengan arang penge-cap-an.
Dhia pun tersenyum damai tapi bergairah, merasa berjuang, merasa mendekati kemenangan dan siap ditantang oleh uji kehidupan. Dia tahu apa yang ia impikan. Dia tahu jalan mana yang harus ditempuh. Dia paham jurang apa yang menunggu di depan. Wanita yang di mataku ialah wanita yang cerdas, berani dan mampu memutuskan.

Bulat bulan begitu besar seakan melahap langit malam. Merah jingga lampu berjejer dalam barisan diiringi adu klakson yang memekakkan. Tiap teras rumah yang dilewati, terang oleh lampu, menandakan empunya rumah berada di singgasananya. Satu di antara ratusan rumah itu merupakan rumahku. Di dalamnya terdapat ibu, sedang menanak nasi sambil sesekali melihat tumis kangkung yang mulai harum. Aroma kangkung hinggap pada pakaian kantor yang masih ia kenakan yang tak sempat diganti karena berkejaran dengan waktu makan malam. Ibu lelah namun senang : nanti di meja makan, ia akan melihat senyum suami dan anak-anaknya serta mendengar cerita-cerita mereka saat di kantor; di sekolah. Ibu lelah namun tak pernah menyesal akan pilihannya : menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita pekerja. Maka, ibu akan berusaha berkali-kali lipat agar suami dan anak-anaknya mendapatkan cinta kasih. Berusaha berkali-kali lipat agar pekerjaan impian dapat diraih. Yang ada di hadapanku merupakan makhluk yang lembut dan berkorban, tangguh dan sabar, cerdas dan dapat memutuskan : perempuan, makhluk luar biasa yang tersimpan di tiap sudut ibukota, yang selalu tahu akan datangnya terang ketika gelap menghantui.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba fiksi Hari Kartini di www.logikarasa.com