Monday, February 23, 2015

23 Februari 2015, 21 tahun Riskia

Usia 21 tahun sudah cukup untuk dikatakan dewasa. Kedewasaan ini bukan hanya menuntut hak, melainkan juga kewajiban. Kewajiban menaati aturan yang ada, kewajiban memberikan sesuatu bagi lingkungan. Selama 21 tahun saya hidup, begitu banyak hak yang saya tuntut dan begitu tak cukup kewajiban yang saya laksanakan.

Saya menuntut pemenuhan kebutuhan dari orang tua. Mulai dari kebutuhan pangan sampai pendidikan. Dulu saya belum menyadari rasa manja ketergantungan terhadap bantuan dari orang tua. Saya meminta ikut serta les biola, tapi tak diteruskan. Saya meminta uang jajan akhir minggu, tapi melanggar jam malam. 

Memang, jika dilihat dari kebanyakan orang, di mana teman-teman sepantaran saya sebagai populasi normal, saya terhitung sebagai anak yang cukup mandiri. Jika hendak pergi ke sekolah atau hang-out dengan teman, saya hampir selalu menggunakan kendaraan umum ke mana pun saya pergi, hampir tidak pernah minta dijemput supir atau orang tua dan hal ini berlangsung semenjak sekolah dasar. Sedari kecil, saya juga dibiasakan untuk membeli gadget menggunakan uang hasil tabungan sendiri dan saya akui hal itu membuat titik kebersyukuran atas apa yang diberikan orang tua semakin mudah untuk didapatkan.

Namun jika dibandingkan dengan kemandirian ibu, saya jadi merasa malu. Ibu saya merantau dari kaki gunung ke Bandung saat ia masih duduk di tingkat SMP. Di samping terkenal cantik dan supel di kalangan remaja Bandung, ia juga berhasil tembus masuk jurusan ternama di universitas ternama melalui jalur undangan. Saat berkuliah pun, ia juga rajin mencari uang jajan sendiri, mulai dari menjadi pembaca pengumuman di radion kampus hingga menjadi tenaga bantuan para peneliti dalam mencari partisipan. Saat mendengar perjalanan ibu, selain tumbuh perasaan malu, tumbuh pula dorongan untuk menjadi lebih dari ibu. Saya rasa, ia tak banyak menuntut hak dari sekitar, ia menjalani kewajibannya dulu kemudian mendapatkan hak nya tanpa banyak menuntut.

Ibu saya melakukan kewajibannya sebagai manusia, yaitu dengan menolong sekitar. Dengan menolong sekitar, maksudku bukan pergi badan amal dan menyumbang dengan jumlah besar, atau mengadakan pengajian dengan anak yatim saat syukuran. Filsafat hidupnya sederhana saja, membantu jika ada yang membutuhkan bantuan. Begitu masuk psikologi, aku tahu term apa yang dapat menggambarkan tingkah lakunya, yaitu Altruism. Dia tak banyak meminta hak setelah melakukan kewajiban, misalnya pujian setelah melakukan kebaikan atau doa anak yatim setelah memberikan bantuan. Tolong-menolong adalah hal yang biasa, kewajiban dasar umat manusia, jadi tidak perlu diagung-agungkan. Mungkin seperti itu yang ia pikirkan. Entahlah. Yang jelas saya terinspirasi olehnya. Namun satu hal yang saya kecewakan, begitu asyik ia melakukan kewajiban sehingga lupa untuk membiasakanku melakukan kewajiban.

Tak jarang saya menemukan teman yang, sebagai manusia, sebagai anak dan sebagai wanita, dituntut untuk bersih-bersih rumah, untuk bantu memasak di dapur, untuk menemani ke pasar, dan sebagainya. Saya tidak mendapatkannya, maksudku tuntutan itu, sehingga saya malah menuntut ibu agar menuntutku, tapi kemudian baru tersadar ternyata yang paling efektif adalah dengan menuntut sendiri untuk melakukan kewajiban tersebut. Dengan menuntut diri sendiri dibutuhkan kemandirian dan konsistensi. Saya akui, menuntut diri sendiri bukan lah perkara mudah dan sebagai manusia yang menginjak 21 tahun inilah yang menjadi tujuan hidup saya di tahun ini : menuntut kewajiban diri, khususnya kewajiban sebagai umat manusia memanusiakan manusia lain tanpa menuntut banyak hak dari orang lain, hak itu mungkin akan saya buat sendiri, kebahagiaan itu akan saya ciptakan secara mandiri.

(bersambung)


No comments:

Post a Comment