Baduy dalam terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Cibeo, kampung Cikesik dan kampung Cikertawana yang masing-masing dipimpin oleh Puun. Kampung yang kami datangi ialah kampung Cibeo, kampung Baduy dalam yang cukup terbuka untuk pariwisata. Setelah kira-kira 4 jam perjalanan menanjak dari Kampung Balimbing, Baduy luar ke Baduy dalam, melewati perkampungan, beberapa jembatan, ladang dan lumbung padi, kami akhirnya sampai di Cibeo. Rasa penasaran memuncak, seperti apa gerangan kampung Baduy dalam sehingga dibedakan dengan baduy luar?
Walau keduanya memiliki penampakan yang hampir sama, Baduy dalam memiliki pantangan yang lebih ketat dibandingkan Baduy luar, misalnya tidak diperbolehkan menggunakan baju berwarna selain hitam, putih dan biru donker, dilarang menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat mencemari alam seperti pasta gigi, sabun dan sampo, dan sebagainya. Selain itu jika hendak ke luar Baduy, masyarakat Baduy dalam tidak diperbolehkan menggunakan alat transportasi, seperti motor dan mobil sehingga mau tidak mau harus berjalan kaki. Durasinya pun tidak boleh melebihi tujuh hari, dengan kata lain hanya daerah tertentu saja yang dapat dicapai. Selain pantangan yang ditujukan bagi masyarakat Baduy baik dalam maupun luar, para tamu juga memiliki pantangan, seperti tidak diperbolehkan memotret di kawasan Baduy dalam. Kalau pun boleh, tamu hanya dapat memotret orang Baduy dalam di luar kawasan tempat tinggalnya. Walau begitu, ada saja orang yang melanggar dan menyebarkan foto-foto tersebut di internet. Mereka yang melakukan hal ini patut dipertanyakan etika penjelajahnya.
Pantangan-pantangan yang terdapat di Baduy dilakukan dalam rangka menjaga nilai dan adat istiadat yang diturunkan dari para leluhur. Pembatasan penggunaan warna pakaian dan teknologi ini bertujuan untuk menghindari kemewahan. Mereka menurunkan tradisi dengan memberikan wejangan dan nasehat kepada para anaknya, yang dikenal dengan tradisi ngolak, semacam pendidikan karakter untuk generasi mendatang sehingga tidak tepat jika ada yang menganggap masyarakat Baduy tidak mengenal pendidikan. Tradisi ngolak ini sendiri merupakan cara orang tua mendidik anaknya, selain mengajak mereka berladang atau menenun sedari kecil. Rasa gotong royong pun masih sangat kental, datanglah ke Baduy ketika rumah akan dibangun, Anda mungkin akan takjub dengan betapa baik kerja sama mereka sehingga dapat membangun rumah dengan cepat. Mengambil keputusan penting pun dilakukan bersama, tokoh-tokoh Baduy Dalam dan Baduy Luar melakukan musyawarah di balai (tempat pertemuan warga kampung dan dapat juga digunakan sebagai tempat bermain angklung). Wah, begitu banyak nilai-nilai yang dapat kita contoh dari masyarakat Baduy.
Sesampainya di Kampung Cibeo, kami langsung menghampiri sungai. Jalanan berlumpur akibat musim penghujan di bulan Januari membuat kami membersihkan diri dengan kesejukan sungai. Sungai tersebut berada di bawah jembatan yang menghubungkan antara kampung Cibeo dengan tempat leuit atau lumbung padi yang berjejer di luar yang menyambut kedatangan kami dari Baduy luar. Seperti sungai pada umumnya, air pada hulu sungai dikonsumsi dan hilir sungai digunakan sebaga tempat mandi dan kakus. Bagi para penjelajah harap bersiap untuk buang air dan mandi di alam terbuka, ya. Kami sendiri cukup kesulitan saat buang air kecil karena malu kalau sampai terlihat orang.
Matahari berpulang, suasana kampung Cibeo pun gelap gulita. Seharusnya malam di Baduy Dalam diisi dengan memandang bintang (stargazing) dan diskusi dengan Jaro, yaitu perpanjangan tangan dari Puun kampung namun apadaya jaro sudah lelap tertidur dan hujan turun dengan derasnya membuat kami tertahan di rumah Kang Nalim tempat kami bermalam. Waktu luang pun diisi dengan bercakap-cakap, diskusi mengenai hal-hal yang berat sampai yang ringan, bercanda tawa dan bermain kartu. Tidak ada televisi, tidak ada sinyal selular, tidak ada yang mengganggu kami dalam bersosialisasi. Hanya kopi seduh dan mie rebus yang menemani cerita dalam nyala tungku api penghantar kehangatan. Ah, sungguh saya rindu dengan suasana tenang dan syahdu. Saat sedang berbincang-bincang, kunang-kunang pun menyapa kami dengan sinar kerlap-kerlip menebas hujan yang masih mengguyur Cibeo.
Menjadi bagian dari Baduy Dalam membuat raga dan jiwa saya ingat rasanya menjadi manusia sederhana yang belum dipekakkan hiruk pikuk kota, manusia yang menghargai alam, manusia yang menghargai sesama manusia pula. Saya pun mengagumi nilai yang menjadi landasan mereka, penghormatan terhadap alam, gotong royong, kesederhanaan dan rasa kesatuan (walau dibedakan mnjadi Baduy Dalam dan Luar, mereka menganggap diri mereka satu Baduy). Alangkah baiknya jika para penjelajah bukan hanya menapakkan kaki dan memanjakan panca indera dari suatu perjalanan, melainkan juga menemukan makna dari perjalanan tersebut. Dalam perjalanan ke Baduy, saya mendapatkan keduanya dan saya pun bersyukur karenanya. Saya pun yakin Anda dapat mengalami hal yang sama. Selamat berplesir!
Menjadi bagian dari Baduy Dalam membuat raga dan jiwa saya ingat rasanya menjadi manusia sederhana yang belum dipekakkan hiruk pikuk kota, manusia yang menghargai alam, manusia yang menghargai sesama manusia pula. Saya pun mengagumi nilai yang menjadi landasan mereka, penghormatan terhadap alam, gotong royong, kesederhanaan dan rasa kesatuan (walau dibedakan mnjadi Baduy Dalam dan Luar, mereka menganggap diri mereka satu Baduy). Alangkah baiknya jika para penjelajah bukan hanya menapakkan kaki dan memanjakan panca indera dari suatu perjalanan, melainkan juga menemukan makna dari perjalanan tersebut. Dalam perjalanan ke Baduy, saya mendapatkan keduanya dan saya pun bersyukur karenanya. Saya pun yakin Anda dapat mengalami hal yang sama. Selamat berplesir!
No comments:
Post a Comment