Tuesday, April 21, 2015

Perempuan di Sudut Ibukota

Gelap perlahan berganti terang. Ayam-ayam pekarangan panti wreda berkokok memeriahkan kandang. Ikan-ikan mas di akuarium sederhana berenang-renang riang, mungkin senang sebab hari baru telah datang. Terangnya matahari mengintip tirai kamar-kamar para lansia yang masih manja memeluk kasur. Terangnya matahari memberi hangat bagi pagi para perawat untuk mengabdi, tak terkecuali Arum. Pagi ini seperti biasa, Arum dan para perawat lainnya membuat bubur sebanyak dua panci penuh untuk mengisi perut kosong para manula. Manula yang berada di panti wreda pinggir kota tersebut. Tempat Arum mengabdi bertahun-tahun, mengurus mereka yang terasingkan zaman, mereka yang terlupakan arus kehidupan.
Selagi membuat bubur, beberapa perawat lainnya membangunkan para nenek-kakek untuk sarapan dan sedikit berolahraga. Nenek Ningsih, Kakek Suep, dan kawan-kawan, sarapan ditemani sedikit canda dan adu cerita tentang anak-anak mereka yang minggat, tentang keperkasaan yang pernah ada, tentang cinta dan gelora yang pernah membara. Saat yang lain berebut cerita, Nenek Rifa menjauh meninggalkan mangkuk bubur dan keramaian, seakan acuh tak acuh pada sekitar. Ia warga baru di sini, minggu lalu anaknya pergi meninggalkan rumah untuk kawin lari. Para perawat membujuk Nenek Rifa untuk makan, bahkan sampai sedikit memaksa. Hal itu dilakukan demi menjaga kesehatan beliau. Namun tetap saja, Nenek Rifa menutup rapat mulutnya sampai merengek dan mengisak. Arum menatapnya iba. Ia merasakan Nenek Rifa. Perasaan dicampakkan, perasaan kesepian, perasaan ditinggalkan, yang dapat dengan kuat dirasakan Arum karena ia tercipta sebagai wanita, makhluk yang peka. Arum menghampiri Nenek Rifa dan memeluknya erat. Terasa hangat pada raga tua ringkih yang gemetar itu. Arum merasakan hangat pada pipinya, basah oleh air mata. Diusapnya helai-helai uban yang ada di pelukannya. Diusapnya jiwa-jiwa yang menceritakan emosi berwarna. Diusapnya keriput yang  pernah matang dan muda. Wanita di mataku ialah wanita yang tulus dan penuh kelembutan, menyelami maksud hati para insan.
Matahari menyengat kulit warga ibukota. Semua mengeluh akan terik siang ini, mengeluhkan kucur keringat dan basah ketiak, mengeluhkan kulit yang menghitam karena terpapar. Saat sengat matahari itu dikeluhkan, Bu Imah menyukurinya. Ia bersyukur kepada Tuhan yang membiarkan sinar matahari mengeringkan kulit sapi yang telah dijemur dari pagi untuk diolah menjadi kerupuk. Kulit-kulit sapi yang akan menjadi uang untuk pengobatan suaminya, kulit-kulit sapi yang akan membuat anak lelaki semata wayangnya bersekolah.
Setelah dijemur hingga kering, kulit itu pun digoreng dengan minyak baru. Bukan minyak jelantah atau minyak bekas gorengan yang tentu lebih murah dari minyak yang dijual Ko Lim di gang muka rumah, melainkan minyak baru! Ya, minyak baru yang membuat beberapa tetangga sesama penjual kerupuk kulit menggunjingkannya. “Sok!”, kata mereka. Namun Bu Imah bergeming. Ia tak mau berkah yang nanti ia dapat timbul dari keuntungan yang merugikan orang lain. Ia ingin para pembeli kerupuk kulit itu turut mendoakan pembuatnya seperti saat tangannya letih mengemas berkilo kerupuk sambil melihat sang suami tergolek di sudut ruangan, atau saat melihat anaknya belajar berhitung dengan satuan kulit-kulit kering di muka rumah akibat tunggakan sekolah terlambat 3 bulan. Terkadang mata Bu Imah mengalirkan air mata putus asa, tapi kemudian ia bersenandung. Menyenandungkan masa depan. Menyenandungkan harapan. Wanita di mataku, ialah wanita tangguh, kuat dan sabar.
Jingga menampakkan siratnya, memantulkan cayaha keemasan pada dinding-dinding sekolah, pada manusia muda berseragam putih abu yang berhamburan keluar ruangan. Mereka meregang otot tubuh yang kaku karena lama duduk menunduk meraba lembaran ujian, memanggil kembali materi hasil belajar hampir tiga tahun ini. Pemuda pemudi itu tertawa, mengeluh, mencari, bergumam, termasuk Dhia dengan darah mudanya. berteriak kemenangan. Kemenangan atas persidangan meja makan. Tadi malam ia telah menuntut haknya, menjadi sesuatu yang ia inginkan sejak lama, yang sudah ia pikir masak-masak, yang sudah ia hitung sedemikian rupa. Ia akan menjadi guru sekolah dasar, berharap mampu memupuk bibit-bibit negara agar menjadi bunga nan harum kelak. Untuk itu, ia akan melanjutkan pendidikan yang mendukung citanya. Namun, baik ayah maupun ibu bersikap antipati. Melihat mimpinya dari kacamata yang hilang sebelah. Tak berprospek, mereka kata. Gajinya kecil, tambah mereka. Kau hanya terbuai utopia-mu saja!, putus mereka. Kemudian, dengan lihai, ia keluarkan senjata pamungkasnya. Dhia menodongkan proposal akan mimpinya, penghayatan akan tujuan keberadaannya di sini. Ia jjabarkan secara lengkap alasan, tujuan, potensi kendala, solusi, serta alternatif. Ayah ibu tercengang dan malu, sadar telah membungkus anak emasnya dengan arang penge-cap-an.
Dhia pun tersenyum damai tapi bergairah, merasa berjuang, merasa mendekati kemenangan dan siap ditantang oleh uji kehidupan. Dia tahu apa yang ia impikan. Dia tahu jalan mana yang harus ditempuh. Dia paham jurang apa yang menunggu di depan. Wanita yang di mataku ialah wanita yang cerdas, berani dan mampu memutuskan.

Bulat bulan begitu besar seakan melahap langit malam. Merah jingga lampu berjejer dalam barisan diiringi adu klakson yang memekakkan. Tiap teras rumah yang dilewati, terang oleh lampu, menandakan empunya rumah berada di singgasananya. Satu di antara ratusan rumah itu merupakan rumahku. Di dalamnya terdapat ibu, sedang menanak nasi sambil sesekali melihat tumis kangkung yang mulai harum. Aroma kangkung hinggap pada pakaian kantor yang masih ia kenakan yang tak sempat diganti karena berkejaran dengan waktu makan malam. Ibu lelah namun senang : nanti di meja makan, ia akan melihat senyum suami dan anak-anaknya serta mendengar cerita-cerita mereka saat di kantor; di sekolah. Ibu lelah namun tak pernah menyesal akan pilihannya : menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita pekerja. Maka, ibu akan berusaha berkali-kali lipat agar suami dan anak-anaknya mendapatkan cinta kasih. Berusaha berkali-kali lipat agar pekerjaan impian dapat diraih. Yang ada di hadapanku merupakan makhluk yang lembut dan berkorban, tangguh dan sabar, cerdas dan dapat memutuskan : perempuan, makhluk luar biasa yang tersimpan di tiap sudut ibukota, yang selalu tahu akan datangnya terang ketika gelap menghantui.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba fiksi Hari Kartini di www.logikarasa.com