Sunday, August 13, 2017

Nawangwulan kepada Jaka Tarub

Malam ini purnama tinggi menghias langit malam tanpa bintang. Purnama begitu terang seakan menghisap seluruh cahaya hingga sekitar jadi gelap, memenangkan langit yang tunduk pun patuh. Namun sekonyong-konyong dari kejauhan tampak tujuh bintang. Bintang – bintang itu meluncur kian dekat menuju daratan. Tujuh bintang itu ternyata merupakan ketujuh kaka-beradik bidadari yang turun dari khayangan. Sinar berpendar ketika ketujuhnya terbang. Malam ini malam purnama, ketika bulan sedang cantik-cantiknya, para bidadari turun untuk nikmati keindahan dan meresapi bening air yang tergoda oleh pantulan sang raja malam. Tujuh bidadari itu begitu rupawan dengan alis bagai semut berbaris, mata bagai sepasang purnama dan bibir bagai merah anyelir. Ketujuhnya terlihat asyik dengan obrolan sambil membiasakan diri pada daratan. Kakak beradik bidadari hendak mandi di telaga tersembunyi, tersimpan di antara pepohonan, di antara ranting dan tenggelam di antara rimba daun daun jati. Satu demi satu menanggalkan pakaian, dan perlengkapan yang disandang. Begitu pun Nawangwulan, si bungsu yang selalu ingin tahu. Malam ini pertama kalinya Nawangwulan singgah ke bumi, melakukan ritual kedewasaan dengan mandi menapak bumi di bawah sinar rembulan. Nawangwulan begitu bersemangat, menyentuh permukaan air telaga yang memantulkan alam sekitar, “ah begini air bumi. Terasa berbeda dari air di khayangan.” Ia tersenyum sambil membasuh muka. Kemudian satu per satu saudara perempuan Nawangwulan memasuki telaga, meninggalkan Nawangwulan yang agak gugup karena begitu bersemangat. “Kemari Nawangwulan,” kakak tertua memberi lengannya sebagai tumpuan Nawangwulan agar tidak jatuh. Ia pun mencelupkan telapak kakinya dan sedikit menyeringai geli, keenam kakaknya tertawa melihat kepolosan Nawangwulan. Akhirnya ia menenggelamkan seluruh tubuhnya, membiarkan permukaan kulit mengecap dinginnya air telaga. Saat Nawangwulan dan keenam kakaknya bermain di telaga, 



Jaka Tarub telah lelah menangisi kepergian seorang wanita yang ia cinta, ibu. Jaka Tarub tidak hanya merasa sepi yang teramat sangat, tapi juga kekalutan. Ketika ibu hendak akan tiada, ia berpesan lirih, pesan yang berdengung di tulang telinga Tarub muda : “Aku ingin kau segera beristri, Tarub. Jangan sampai kau pelihara dirimu dalam kesendirian lebih dari satu kali bulan purnama.” Namun Jaka Tarub tidak sempat menyanggupi permintaan ibunda. Sang Hyang mengambilnya lebih dulu. Seberapa erat Tarub memeluk tubuh ibu, jiwanya tak mampu bersatu raga lagi. Untuk mengusir lara, Tarub beranjak dan membiarkan kedua kakinya berjalan tanpa arah. Walau sungguh amat berbahaya lalu lalang di hutan semalam ini, Tarub tak peduli. Ia tidak tenang berada di dalam desa sepeninggal ibu. Ditambah desas-desus warga yang mengembuskan kabar tak sedap tentang betapa arogannya Tarub, ia tambah tak peduli. Dahulu Jaka Tarub dikenal sebagai lelaki gagah, pintar dan mencintai ibunya. Warga desa berlomba – lomba mengawinkan putri – putri mereka dengan Jak Tarub namun tiada yang berkesan di hatinya. Penolakan itu membuat orang-orang, khususnya petinggi desa sakit hati dan menghembuskan kabar tidak sedap secepat angin gunung : “Tarub yang pintar dan rupawan namun menderita penyakit kelamin yang memalukan.” Bagaimana tidak Tarub berpikir semakin sulit ia menemukan pendamping jika gadis – gadis desa menatapnya dengan bergidik dan kepala miring. Di saat hati Tarub makin berkabut oleh kalut, gendang telinganya menangkap tawa-tiwi renyah. Tawa perempuan. Lalu dengan langkah seribu ia mencari sumber suara sampai ditemukannya telaga dengan tujuh wanita. Melihat cahaya yang berpendar mengelilingi mereka, ia sadar ketujuhnya bukan wanita biasa. Malam itu, Jaka Tarub tahu apa makna jiwa bergelora, darah berdesir. Tidak pernah ia merasa haus dan lapar akan wanita seperti ini. Di sebelahnya terdapat pakaian dan selendang sutra warna merah menyala dengan payet permata harum bunga tujuh rupa. Ia terdorong untuk mengambilnya tapi tiba-tiba sepasang mata menangkap kedua mata Tarub muda. Hampir saja jantungnya loncat. “Ma-maaf,” ucap Tarub kepada pemilik mata sambil menyerahkan selendang kepada empunya. Ia begitu malu hingga mewarnai merah muka sampai telinga. Wanita di depannya tidak bersuara. Ia malah mendorong pelan tangan Tarub dan membuatnya makin erat menggenggam selendang tersebut. “Nawangwulan, tunggu apa lagi? Sebentar lagi cahaya bulan akan menghilang, kita harus segera pulang!” Nawangwulan kemudian berteriak, “Aku tidak dapat menemukan selendangku! Kakak tahu apa yang akan ayahanda lakukan jika aku pulang tanpa selendang menghiasi pinggang. Aku bisa celaka!” Kakak – kakak Nawangwulan saling berpandang resah. “Biar kami bantu mencari..” mendengar itu, Nawangwulan langsung berujar, “..jangan kakak berkorban demi aku. Kakanda sekalian hendaknya tinggalkan aku, pasti akan kutemukan. Aku akan pulang pada purnama mendatang.” Keenam kakak hanya dapat memandang si bungsu gundah. Mereka merasa serba salah : ingin tinggal tapi nanti hukum yang akan mereka lawan. “Akan kupikirkan alasan yang dapat meredam murka ayahanda. Namun kau harus berjanji akan pulang.” kata kakak tertua memeluk Nawangwulan, diikuti saudaranya yang lain. Satu – satu mereka terbang perlahan menuju khayangan, meninggalkan Nawangwulan dengan Jaka Tarub yang menggenggam selendang merah dengan wajah semakin merah. Lalu di antara keheningan hutan, Nawangwulan bersuara, “Aku ingin kau melakukan sesuatu.” 


*** 


Sudah hampir penuh purnama Jaka Tarub mengajari Nawangwulan segala hal tentang manusia dan dunia walau terbatas pada hanya yang ia ketahui. Ia juga mengajarkan keterampilan memasak, menyiangi rumput bahkan berladang pada Nawangwulan. Tidak hanya Nawangwulan tetapi Jaka Tarub pun sedikit diberi pengetahuan megnenai khayangan walau terbatas hanya yang boleh Jaka Tarub ketahui. Keduanya bertukar pikiran dan tidak memedulikan pendapat warga sekitar yang kembali mendengungkan desas-desus melihat Nawangwulan mengisi kediaman Jaka Tarub. Jaka Tarub ialah guru yang baik pun Nawangwulan sebagai murid selalu bertanya dan menjawab apa yang diucapkan Jaka Tarub. Namun tidak untuk tanda tanya yang lebih merupakan penekanan bahwa malam ini akan jadi malam terakhir Nawangwulan di bumi. "Malam ini kau akan pulang?", tanya Tarub. Nawangwulan tidak menjawab. Ia hanya terus mengiris bawang hingga tipis sampai tak sengaja kulitnya pun beradu dengan tajamnya pisau. Ia pun tersentak. Tarub dengan sigap memeriksa jemari Nawangwulan tapi ia tak dapat menemukan luka secuil pun. “Tarub, kau harus ingat. Aku bukan manusia.” Tarub pun tersenyum ganjil. Ia sudah terbiasa dengan Nawangwulan yang berperilaku seperti manusia. Nawangwulan lama yang belum tahu menahu tentang dunia sudah lama ia lupa. Melihat Tarub bermuka pundung, Nawangwulan mengusap kepalanya. Ia menaruh kasihan pada Tarub, seorang lelaki sopan dan rupawan. Selama Nawangwulan tinggal di bumi, tak sedikit pun Tarub menyentuhnya bahkan membiarkan matanya berkelabat lama pada raga Nawangwulan. Dalam hati, Nawangwulan mendoakan hal baik kepada Sang Hyang untuk Jaka Tarub tersayang. 


*** 


Selendang merah telah menghiasai pinggang Nawangwulan, bidadari bungsu yang selalu ingin tahu. Ketika matahari kembali ke paraduan, ia dan Jaka Tarub berangkat ke hutan agar tidak terlambat menemui purnama tinggi. Sebelumnya, Jaka Tarub mengajak Nawangwulan mengunjungi makam ibunda. Ia mengenalkan Nawangwulan pada ibunda yang mungkin akan ia temui nanti di khayangan. Saat memulai perjalanan, Jaka Tarub meminta izin untuk menggengam tangan Nawangwulan dan ia pun mengangguk. Lalu mereka berjalan menyusur hutan lewati semak belukar. Di tengah perjalanan, mereka beristirahat di pondok reot. “Selama ini aku tidak pernah menanyakan alasanmu ingin berada di bumi. Hari ini aku bertanya : mengapa?” Jaka Tarub mencari sepasang mata untuk ditanya. “Bukankah aku pernah bilang padamu, aku jenuh akan kesempurnaan khayangan. Dari atas, aku melihat kalian bersusah dan terjatuh tapi kemudian bangkit dan berusaha. Aku iri dengan ketidaksempurnaan kalian. Kami para makhluk khayangan hanya menjentikkan jari dan segala yang diinginkan langsung berada di hadapan kami. Bayangkan, betapa jenuh hal itu. Dan lagi…” sepasang mata yang tadi dicari Jaka Tarub menjawab balik, “..aku penasaran dengan ketidaksempurnaan manusia yang buta oleh nafsu.” Cepat Jaka Tarub membalas, “Maksudmu?” Nawangwulan tidak mencabut pandangannya dari mata Jaka Tarub.” Kami para makhluk khayangan hanya menyerahkan diri pada sang Hyang, melupakan diri dari hal tabu yang dapat mengganggu cinta kami pada-Nya.” Angin berembus melewati daun-daun pohon jati yang mulai meranggas, Nawangwulan melanjutkan, “..Aku ingin tahu, apakah aku punya hal itu. Yang kutahu, saat kuiintip wanita dan lelaki bercinta, ada desir yang menjalari tubuhku. Apakah itu karena angin malam hingga bulu roma-ku berdiri atau..” Mata Jaka Tarub tak lagi berani mencari sepasang mata. Kini ia sibuk menyembunyikan hal yang ia pikir seharusnya tidak pernah muncul di permukaan. “Namun aku melihat kau tak pernah menyentuhku barang sedikit pun. Aku kira hanya kami yang dapat melakukannya. Kau pria manusia yang langka untuk ditemui.” Nawangwulan kemudian menyadari Jaka Tarub yang tidak lagi biasa. “Jadi kau datang padaku untuk menguji? Diam aku menahan diri untuk apa? Aku tak lagi dapat membedakan antara setan atau bidadari.” Nawangwulan terpukul mendengarnya, tapi ia dapat menangkap ada rasa sesal di hati Tarub. Bukannya marah, ia merasa iba. Betapa ia menyesal membuat Jaka Tarub berpikir demikian tentangnya terlebih saat ia teringat akan Jaka Tarub yang sebatang kara. Ia takut Tarub akan menyimpan segalanya sendirian. Nawangwulan pun mengusap kepala Tarub. Jaka Tarub bergetar. “Tak bisakah kau tinggal lebih lama?” ujarnya seketika. “Kau tahu Tarub, hukum berada di atasku. Satu kali aku berkata tak jujur pada kakanda yang kucinta. Aku tak mau melanggar hukum lebih lagi.” Jaka Tarub kini memandang tajam pada Nawangwulan, “Sebentar tadi kau bilang penasaran dan sebentar lalu kau bilang kau tidak ingin melanggar aturan. Apa sebenarnya yang kau inginkan? Jangan kau biarkan aku larut dalam kebingungan.” Nawangwulan mengernyitkan dahinya, “Aku tak tahu. Aku benar-benar tidak tahu.” Jaka Tarub berteriak kencang mengejutkan Nawangwulan, kemudian ia diam di sudut pondok. Nawangwulan mengusap kepala Jaka Tarub kembali. Ia menangis. Ia mengusap helai – helai rambut legam Jaka Tarub dengan menangis sambil menyanyikan tembang macapat : . Seketika tangan Jaka Tarub bertemu tangan Nawangwulan. Bibirnya pun bertandang pada bibir Nawangwulan. Bendungan yang tadi tampak kokoh, kini hancur membiarkan alirannya deras membasahi belantara hutan hingga masuk ke lorong gua terdalam. Malam itu purnama tinggi memantulkan cahaya pada telaga, tapi Nawangwulan tiada di tempat. Jaka Tarub, pemuda desa yang gagah dan rupawan dan Nawangwulan, bidadari bungsu yang ingin tahu malam itu tidak ada sekat antara keduanya. Yang tidak Nawangwulan ketahui bahwa Sang Hyang mengabulkan doanya agar Jaka Tarub selalu diberikan kebahagiaan untuk hari ini dan hari – hari selanjutnya. Rahasia alam membungkus keduanya dalam pondok beralas tikar saat bulan purnama sedang cantik – cantiknya.