Tuesday, September 1, 2015

Getir

Aku letih merasa getir
Kuangkat tangan dan melipir
Kulihat segerombolan mereka berlari ke arah sana. Satu titik. Entah kemana. Sebagian dari mereka tertatih, berwajah sedih. Sebagian menyimpul senyum, tampak yakin. Sementara aku masih berwajah keruh. menatap heran akan kesediaan mereka untuk tetap laju dan heran pula pada hentinya langkahku. Barusan aku merasa getir. Getir yang melintir. Ah aku tak tahan.Namun berbalik arah merupakan hal yang mubazir dan langkah ke depan sungguh melelahkan. Baik, biarkan aku rehat sejenak. Sambil terduduk berpeluh aku lihat mereka sudah berpasang-pasang. Waktu menuntun mereka menemukan satu sama lain. kadang waktu pula yang memisahkan dan menjauhkan. Walau nantinya mereka akan bertemu lagi. Mungkin.

Aku perhatikan kembali satu satu. Ada yang bergerak cepat berganti-ganti tempat menebar kotoran seperti lalat yang hinggap seenaknya tanpa malu mengurat. Namun langkahnya kemudian melambat dan ia pasrah, dan ia menerima. lalu ia berjalan lurus. lurus dan damai. Ada pula yang buta dan dituntun dengan baik, tapi ada yang tidak. Yang jelas mereka mengarah ke satu titik, begitu silau hingga tidak ada yang tahu hal apa yang ada setelahnya. Mereka melaju. Segerombolan dalam arus utama, arus terbanyak, sang mayoritas. Baiklah, aku akan berlari atau berlayar. Sebentar lagi. Aku rehat sejenak mempersiapkan peralatanku yang rusak karena termakan getir. Barusan tadi. Getir yang melintir.

Thursday, August 20, 2015

Dendam

Peluru hitam kusimpan
di peti besi gudang terdalam
dindingnya dihiasi batu batu kemegahan

lalu lama
lama berlalu
peluru hitam tetap ada
dan selongsong tetap kujaga

satu peluru
yang legam dan mantap
menanti tuk diluncurkan

satu peluru
berisi titik nadi angkara
kupelihara ia kusayang
kuberi makan agar semakin hitam
sampai nanti ia rela dilepaskan

Saturday, July 18, 2015

Ied Mubarak 1436 H

Let us be 
as pure 
as fitrah
as suci

as a newborn

Back to what we used to be
Back to the road we meant to walk on

Happy Eid 1436 H

God Bless Us

Let's begin the journey :) 

Tuesday, April 21, 2015

Perempuan di Sudut Ibukota

Gelap perlahan berganti terang. Ayam-ayam pekarangan panti wreda berkokok memeriahkan kandang. Ikan-ikan mas di akuarium sederhana berenang-renang riang, mungkin senang sebab hari baru telah datang. Terangnya matahari mengintip tirai kamar-kamar para lansia yang masih manja memeluk kasur. Terangnya matahari memberi hangat bagi pagi para perawat untuk mengabdi, tak terkecuali Arum. Pagi ini seperti biasa, Arum dan para perawat lainnya membuat bubur sebanyak dua panci penuh untuk mengisi perut kosong para manula. Manula yang berada di panti wreda pinggir kota tersebut. Tempat Arum mengabdi bertahun-tahun, mengurus mereka yang terasingkan zaman, mereka yang terlupakan arus kehidupan.
Selagi membuat bubur, beberapa perawat lainnya membangunkan para nenek-kakek untuk sarapan dan sedikit berolahraga. Nenek Ningsih, Kakek Suep, dan kawan-kawan, sarapan ditemani sedikit canda dan adu cerita tentang anak-anak mereka yang minggat, tentang keperkasaan yang pernah ada, tentang cinta dan gelora yang pernah membara. Saat yang lain berebut cerita, Nenek Rifa menjauh meninggalkan mangkuk bubur dan keramaian, seakan acuh tak acuh pada sekitar. Ia warga baru di sini, minggu lalu anaknya pergi meninggalkan rumah untuk kawin lari. Para perawat membujuk Nenek Rifa untuk makan, bahkan sampai sedikit memaksa. Hal itu dilakukan demi menjaga kesehatan beliau. Namun tetap saja, Nenek Rifa menutup rapat mulutnya sampai merengek dan mengisak. Arum menatapnya iba. Ia merasakan Nenek Rifa. Perasaan dicampakkan, perasaan kesepian, perasaan ditinggalkan, yang dapat dengan kuat dirasakan Arum karena ia tercipta sebagai wanita, makhluk yang peka. Arum menghampiri Nenek Rifa dan memeluknya erat. Terasa hangat pada raga tua ringkih yang gemetar itu. Arum merasakan hangat pada pipinya, basah oleh air mata. Diusapnya helai-helai uban yang ada di pelukannya. Diusapnya jiwa-jiwa yang menceritakan emosi berwarna. Diusapnya keriput yang  pernah matang dan muda. Wanita di mataku ialah wanita yang tulus dan penuh kelembutan, menyelami maksud hati para insan.
Matahari menyengat kulit warga ibukota. Semua mengeluh akan terik siang ini, mengeluhkan kucur keringat dan basah ketiak, mengeluhkan kulit yang menghitam karena terpapar. Saat sengat matahari itu dikeluhkan, Bu Imah menyukurinya. Ia bersyukur kepada Tuhan yang membiarkan sinar matahari mengeringkan kulit sapi yang telah dijemur dari pagi untuk diolah menjadi kerupuk. Kulit-kulit sapi yang akan menjadi uang untuk pengobatan suaminya, kulit-kulit sapi yang akan membuat anak lelaki semata wayangnya bersekolah.
Setelah dijemur hingga kering, kulit itu pun digoreng dengan minyak baru. Bukan minyak jelantah atau minyak bekas gorengan yang tentu lebih murah dari minyak yang dijual Ko Lim di gang muka rumah, melainkan minyak baru! Ya, minyak baru yang membuat beberapa tetangga sesama penjual kerupuk kulit menggunjingkannya. “Sok!”, kata mereka. Namun Bu Imah bergeming. Ia tak mau berkah yang nanti ia dapat timbul dari keuntungan yang merugikan orang lain. Ia ingin para pembeli kerupuk kulit itu turut mendoakan pembuatnya seperti saat tangannya letih mengemas berkilo kerupuk sambil melihat sang suami tergolek di sudut ruangan, atau saat melihat anaknya belajar berhitung dengan satuan kulit-kulit kering di muka rumah akibat tunggakan sekolah terlambat 3 bulan. Terkadang mata Bu Imah mengalirkan air mata putus asa, tapi kemudian ia bersenandung. Menyenandungkan masa depan. Menyenandungkan harapan. Wanita di mataku, ialah wanita tangguh, kuat dan sabar.
Jingga menampakkan siratnya, memantulkan cayaha keemasan pada dinding-dinding sekolah, pada manusia muda berseragam putih abu yang berhamburan keluar ruangan. Mereka meregang otot tubuh yang kaku karena lama duduk menunduk meraba lembaran ujian, memanggil kembali materi hasil belajar hampir tiga tahun ini. Pemuda pemudi itu tertawa, mengeluh, mencari, bergumam, termasuk Dhia dengan darah mudanya. berteriak kemenangan. Kemenangan atas persidangan meja makan. Tadi malam ia telah menuntut haknya, menjadi sesuatu yang ia inginkan sejak lama, yang sudah ia pikir masak-masak, yang sudah ia hitung sedemikian rupa. Ia akan menjadi guru sekolah dasar, berharap mampu memupuk bibit-bibit negara agar menjadi bunga nan harum kelak. Untuk itu, ia akan melanjutkan pendidikan yang mendukung citanya. Namun, baik ayah maupun ibu bersikap antipati. Melihat mimpinya dari kacamata yang hilang sebelah. Tak berprospek, mereka kata. Gajinya kecil, tambah mereka. Kau hanya terbuai utopia-mu saja!, putus mereka. Kemudian, dengan lihai, ia keluarkan senjata pamungkasnya. Dhia menodongkan proposal akan mimpinya, penghayatan akan tujuan keberadaannya di sini. Ia jjabarkan secara lengkap alasan, tujuan, potensi kendala, solusi, serta alternatif. Ayah ibu tercengang dan malu, sadar telah membungkus anak emasnya dengan arang penge-cap-an.
Dhia pun tersenyum damai tapi bergairah, merasa berjuang, merasa mendekati kemenangan dan siap ditantang oleh uji kehidupan. Dia tahu apa yang ia impikan. Dia tahu jalan mana yang harus ditempuh. Dia paham jurang apa yang menunggu di depan. Wanita yang di mataku ialah wanita yang cerdas, berani dan mampu memutuskan.

Bulat bulan begitu besar seakan melahap langit malam. Merah jingga lampu berjejer dalam barisan diiringi adu klakson yang memekakkan. Tiap teras rumah yang dilewati, terang oleh lampu, menandakan empunya rumah berada di singgasananya. Satu di antara ratusan rumah itu merupakan rumahku. Di dalamnya terdapat ibu, sedang menanak nasi sambil sesekali melihat tumis kangkung yang mulai harum. Aroma kangkung hinggap pada pakaian kantor yang masih ia kenakan yang tak sempat diganti karena berkejaran dengan waktu makan malam. Ibu lelah namun senang : nanti di meja makan, ia akan melihat senyum suami dan anak-anaknya serta mendengar cerita-cerita mereka saat di kantor; di sekolah. Ibu lelah namun tak pernah menyesal akan pilihannya : menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita pekerja. Maka, ibu akan berusaha berkali-kali lipat agar suami dan anak-anaknya mendapatkan cinta kasih. Berusaha berkali-kali lipat agar pekerjaan impian dapat diraih. Yang ada di hadapanku merupakan makhluk yang lembut dan berkorban, tangguh dan sabar, cerdas dan dapat memutuskan : perempuan, makhluk luar biasa yang tersimpan di tiap sudut ibukota, yang selalu tahu akan datangnya terang ketika gelap menghantui.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba fiksi Hari Kartini di www.logikarasa.com


Monday, February 23, 2015

23 Februari 2015, 21 tahun Riskia

Usia 21 tahun sudah cukup untuk dikatakan dewasa. Kedewasaan ini bukan hanya menuntut hak, melainkan juga kewajiban. Kewajiban menaati aturan yang ada, kewajiban memberikan sesuatu bagi lingkungan. Selama 21 tahun saya hidup, begitu banyak hak yang saya tuntut dan begitu tak cukup kewajiban yang saya laksanakan.

Saya menuntut pemenuhan kebutuhan dari orang tua. Mulai dari kebutuhan pangan sampai pendidikan. Dulu saya belum menyadari rasa manja ketergantungan terhadap bantuan dari orang tua. Saya meminta ikut serta les biola, tapi tak diteruskan. Saya meminta uang jajan akhir minggu, tapi melanggar jam malam. 

Memang, jika dilihat dari kebanyakan orang, di mana teman-teman sepantaran saya sebagai populasi normal, saya terhitung sebagai anak yang cukup mandiri. Jika hendak pergi ke sekolah atau hang-out dengan teman, saya hampir selalu menggunakan kendaraan umum ke mana pun saya pergi, hampir tidak pernah minta dijemput supir atau orang tua dan hal ini berlangsung semenjak sekolah dasar. Sedari kecil, saya juga dibiasakan untuk membeli gadget menggunakan uang hasil tabungan sendiri dan saya akui hal itu membuat titik kebersyukuran atas apa yang diberikan orang tua semakin mudah untuk didapatkan.

Namun jika dibandingkan dengan kemandirian ibu, saya jadi merasa malu. Ibu saya merantau dari kaki gunung ke Bandung saat ia masih duduk di tingkat SMP. Di samping terkenal cantik dan supel di kalangan remaja Bandung, ia juga berhasil tembus masuk jurusan ternama di universitas ternama melalui jalur undangan. Saat berkuliah pun, ia juga rajin mencari uang jajan sendiri, mulai dari menjadi pembaca pengumuman di radion kampus hingga menjadi tenaga bantuan para peneliti dalam mencari partisipan. Saat mendengar perjalanan ibu, selain tumbuh perasaan malu, tumbuh pula dorongan untuk menjadi lebih dari ibu. Saya rasa, ia tak banyak menuntut hak dari sekitar, ia menjalani kewajibannya dulu kemudian mendapatkan hak nya tanpa banyak menuntut.

Ibu saya melakukan kewajibannya sebagai manusia, yaitu dengan menolong sekitar. Dengan menolong sekitar, maksudku bukan pergi badan amal dan menyumbang dengan jumlah besar, atau mengadakan pengajian dengan anak yatim saat syukuran. Filsafat hidupnya sederhana saja, membantu jika ada yang membutuhkan bantuan. Begitu masuk psikologi, aku tahu term apa yang dapat menggambarkan tingkah lakunya, yaitu Altruism. Dia tak banyak meminta hak setelah melakukan kewajiban, misalnya pujian setelah melakukan kebaikan atau doa anak yatim setelah memberikan bantuan. Tolong-menolong adalah hal yang biasa, kewajiban dasar umat manusia, jadi tidak perlu diagung-agungkan. Mungkin seperti itu yang ia pikirkan. Entahlah. Yang jelas saya terinspirasi olehnya. Namun satu hal yang saya kecewakan, begitu asyik ia melakukan kewajiban sehingga lupa untuk membiasakanku melakukan kewajiban.

Tak jarang saya menemukan teman yang, sebagai manusia, sebagai anak dan sebagai wanita, dituntut untuk bersih-bersih rumah, untuk bantu memasak di dapur, untuk menemani ke pasar, dan sebagainya. Saya tidak mendapatkannya, maksudku tuntutan itu, sehingga saya malah menuntut ibu agar menuntutku, tapi kemudian baru tersadar ternyata yang paling efektif adalah dengan menuntut sendiri untuk melakukan kewajiban tersebut. Dengan menuntut diri sendiri dibutuhkan kemandirian dan konsistensi. Saya akui, menuntut diri sendiri bukan lah perkara mudah dan sebagai manusia yang menginjak 21 tahun inilah yang menjadi tujuan hidup saya di tahun ini : menuntut kewajiban diri, khususnya kewajiban sebagai umat manusia memanusiakan manusia lain tanpa menuntut banyak hak dari orang lain, hak itu mungkin akan saya buat sendiri, kebahagiaan itu akan saya ciptakan secara mandiri.

(bersambung)


Saturday, February 14, 2015

Tugas Akhir Sang Cupid

Amore terbangun dari tidurnya. Seketika ia merasa hampa. Ia terbangun dalam ruang yang kosong tanpa warna, lalu perasaannya menjadi rumit dan nafasnya sedikit tercekat. Ia mengerjap mata dan menghisap udara dalam-dalam. Baru ia menyadari ruangan kosong tadi hanya fantasi, matanya melihat sekeliling dan menemukan pemandangan biasa : ruangan berwarna lembut khas asrama cupid tingkat menengah atas. Ia pun kembali terlelap dengan perasaan aman walau ada yang masih mengganjal pikirannya : apa yang membuatku hampa?

Tanggal 14 februari, hari kasih sayang, pagi yang sibuk di asrama cupid. Seharian penuh mereka akan sibuk menjalankan misi akademi, menebar cinta, menjodohkan para pasangan. Tidak seperti orang-orang naif pikirkan, siswa-siswi Cupid tidak lagi membawa panah asmara dan busur cinta. Memang metode seperti itu pernah diaplikasikan, hanya saja keakuratannya semakin menurun dan malah menimbulkan salah pasang yang runyam. Oleh sebab itu, beberapa abad terakhir, selain menerima murid-murid yang memiliki bakat mencintai untuk mengisi baterai cinta, akademi Cupid pun menggunakan metode yang lebih saintifik dengan menyebarkan hormon yang membuat orang kasmaran serta mengatur situasi dan kondisi agar wanita dan pria dapat berpasang-pasang. Hal yang satu ini membutuhkan detail, ketepatan dan ketelitian yang benar-benar tinggi, serta kerja kelompok yang rapi dan cekatan. Kelompok dibentuk dari lulusan akademi yang berpengalaman dan terbukti berprestasi. Namun, tiap hari valentine, mereka memberlakukan magang kepada siswa-siswi berprestasi dan Amore menjadi salah satunya. Amore mampu mencintai orang sekitar dengan begitu dalam. Ketelitian, kecekatan dan kerja sama kelompoknya pun dapat diacungi jempol. Semua orang memuji, tapi Amore malah bertanya-tanya. Kenapa aku? Masih banyak yang lebih pantas dibandingkan aku? Lalu semakin ia berkata demikian semakin kencang badai pujian. Mereka menganggapnya merendah, tanpa tahu ia benar-benar bertanya. Amore pun menyerah.

Tugas hari ini dilaksanakan dengan hampir sempurna walau Gratel hampir saja ceroboh dalam memperkirakan kereta datang lebih cepat 0,75 detik dari yang seharusnya. Untung mereka dapat mengantisipasinya dengan baik dan Tuhan pun turut membantu mereka. Hasilnya, tercipta lah pasangan hari ini : seorang lelaki tua beristri dengan seorang wanita muda yang belum pernah mengenal cinta. Pada awalnya Amore menentang ide ini dan bersikeras mengagalkan misi sampai seorang senior membuatnya diam dengan menjelaskan rencana Tuhan (yang super duper rahasia) : setelah 3 bulan berpacaran keduanya akan putus, sang wanita akan dilanda patah hati hebat dan menuliskan kisahnya sehingga dia akan terkenal sebagai penulis yang produktif dan mengantarkannya pada (tugas selanjutnya) pertemuan dengan 'yang ditakdirkan'. Amore bungkam. Saat itu ia belajar satu hal. Aku mengetahui sedikit dari yang banyak. 

Tugas pun selesai. Malam itu mereka pulang dengan lapang.

Tangannya menggapai-gapai sesuatu, tapi tak pernah sampai. Pandangannya gulita, ia pun berteriak. "Ada apa?", seorang senior memegang kepala Amore dan mengamati raut anak itu. "Ada apa?", ia bertanya sekali lagi. Amore terdiam sesaat, mengumpulkan kesadaran, lalu ia menggeleng. "Ada apa? kau bisa ceritakan padaku.", lawan bicaranya memastikan, sambil memerhatikan gerak-gerik Amore yang terlihat gelisah, tapi sekali lagi, ia hanya menggeleng. Senior menghela nafas dan membaringkan badannya kembali, "Yah terserahmu lah, jika ingin bercerita silahkan cerita kapan saja." Sang senior kembali terlelap meninggalkan Amore dalam kelu. Andai aku tahu alasan aku merasa hampa, agh memang ku bodoh tak terkira, Amore menjawab dalam hati.

Genap seminggu peserta magang melakukan tugas. Dalam acara pelepasan peserta magang ini, Mr. Fromm seorang atasan, memberikan khotbahnya, "Sebarkanlah cinta ke seluruh umat manusia. Manusia yang sehat ialah manusia yang mampu mencintai sesama manusia bukannya menukarkan nilai dirinya dengan manusia lain yang sederajat dengannya. Benar-benar pikiran kapitalis modern, semua dijadikan komoditas. Bahkan dirinya sendiri. Sungguh sangat disayangkan", Mr.Fromm tenang melafalkan. 

Seusai pidato, Mr.Fromm menyematkan lencana bagi para murid magang. Tiba giliran Amore, Mr.Fromm bersuara, "Amore?". wajah Amore terangkat dari tunduk sopannya, "Ya?" "Tugasmu sungguh sangat sempurna. Energi cintamu juga menyilaukan,  dan kudengar, kau seseorang yang mengabdi penuh dan rela berkorban, dari dulu saat masih menjadi manusia biasa hingga sekarang pun kau selalu melupakan kepentingan pribadimu demi orang banyak. Tidak hanya itu, kau selalu merendah tiap kali orang-orang memujimu.", Mr.Fromm menepuk bahu Amore, menatapnya dalam, alisnya berkerut, matanya berkaca. Kemudian ia menghela nafas dan kembali menepuk bahu Amore dua kali, "Amore, ada satu manusia yang belum pernah kau cintai." Amore tergugup. Ia selalu berpikir dirinya pandai mencintai, selalu sempurna dalam mencintai. Amore bertanya tanpa suara. Mr. Fromm menatap lurus pada kedua bola mata Amore, "Kau, Amore. Kau belum mencintai dirimu." Amore terhenyak. Tumbuh rona di pipinya, ia merasa malu. Amore berlari meninggalkan Mr. Fromm. Ia berlari dalam cekat. Ia tak mampu menangis. Ia berlari jauh, sampai letih dan membiarkan tubuhnya terrbaring di atas permadani alam. Kemudian ia tertidur dan bermimpi. Mimpi panjang sekali. Terdapat perang di dalamnya, sebuah pergolakan. 

Langit dipenuhi awan kelabu, awan yang padat yang bertahan memangkul titik-titik hujan. Rerumputan, semak dan bunga-bunga liar bergoyang, memohon agar hujan membasahi tubuhnya, memohon agar hujan turun dengan perlahan agar mereka tidak tercabik. Amore terbangun oleh tetes hujan. Ia membuka mata perih, silau. Matahari menyegat, ilalang bergoyang riang. Amore menyadari, bukan air hujan yang membangunkannya, melainkan air yang turun dari kedua bola matanya. Ia malah terus menangis meraung, seperti awan yang letih memangkul hujan. Ia melepaskan titik-titik hujan agar dapat mempersilahkan matahari singgah ke bumi. Anehnya ia merasa damai, ia tahu tangisan ini sebagai puncak kedamaiannya. Sementara Gratel, terpana. Sesungguhnya, sejak beberapa jam yang lalu ia telah menemukan Amore tergeletak di rerumputan dipenuhi dedaunan kecil mahoni. Ia mengira, tubuh itu telah terpisah dari jiwa namun dedaunan mahoni menari di atas wajah Amore, ia masih bernafas. Ketika Amore telah puas menangis, Gratel datang ke hadapannya, "Mari pulang." Amore mengangguk dan mengikuti langkah Gratel. "Tenang, apa pun yang terjadi, kau adalah seseorang dengan etos kerja yang baik, mampu mencintai dengan baik pula, melakukan tugas dengan hampir tanpa cela, pasangan yang kau rancang hampir selalu bertahan sampai akhir hayat. Kau harus berbangga dengan dirimu. Kau harus menghargai dirimu juga." Amore menyimpulkan senyum lebar, semilir angin menghembus bermain dengan helai-helai rambut merah ikalnya, " Terima kasih, aku tahu itu."  

Tuesday, January 6, 2015

Baduy Dalam yang Kaya Makna

Baduy dalam terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Cibeo, kampung Cikesik dan kampung Cikertawana yang masing-masing dipimpin oleh Puun. Kampung yang kami datangi ialah kampung Cibeo, kampung Baduy dalam yang cukup terbuka untuk pariwisata. Setelah kira-kira 4 jam perjalanan menanjak dari Kampung Balimbing, Baduy luar ke Baduy dalam, melewati perkampungan, beberapa jembatan, ladang dan lumbung padi, kami akhirnya sampai di Cibeo. Rasa penasaran memuncak, seperti apa gerangan kampung Baduy dalam sehingga dibedakan dengan baduy luar?

Walau keduanya memiliki penampakan yang hampir sama, Baduy dalam memiliki pantangan yang lebih ketat dibandingkan Baduy luar, misalnya tidak diperbolehkan menggunakan baju berwarna selain hitam, putih dan biru donker, dilarang menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat mencemari alam seperti pasta gigi, sabun dan sampo, dan sebagainya. Selain itu jika hendak ke luar Baduy, masyarakat Baduy dalam tidak diperbolehkan menggunakan alat transportasi, seperti motor dan mobil sehingga mau tidak mau harus berjalan kaki. Durasinya pun tidak boleh melebihi tujuh hari, dengan kata lain hanya daerah tertentu saja yang dapat dicapai. Selain pantangan yang ditujukan bagi masyarakat Baduy baik dalam maupun luar, para tamu juga memiliki pantangan, seperti tidak diperbolehkan memotret di kawasan Baduy dalam. Kalau pun boleh, tamu hanya dapat memotret orang Baduy dalam di luar kawasan tempat tinggalnya. Walau begitu, ada saja orang yang melanggar dan menyebarkan foto-foto tersebut di internet. Mereka yang melakukan hal ini patut dipertanyakan etika penjelajahnya.

Pantangan-pantangan yang terdapat di Baduy dilakukan dalam rangka menjaga nilai dan adat istiadat yang diturunkan dari para leluhur. Pembatasan penggunaan warna pakaian dan teknologi ini bertujuan untuk menghindari kemewahan. Mereka menurunkan tradisi dengan memberikan wejangan dan nasehat kepada para anaknya, yang dikenal dengan tradisi ngolak, semacam pendidikan karakter untuk generasi mendatang sehingga tidak tepat jika ada yang menganggap masyarakat Baduy tidak mengenal pendidikan. Tradisi ngolak ini sendiri merupakan cara orang tua mendidik anaknya, selain mengajak mereka berladang atau menenun sedari kecil. Rasa gotong royong pun masih sangat kental, datanglah ke Baduy ketika rumah akan dibangun, Anda mungkin akan takjub dengan betapa baik kerja sama mereka sehingga dapat membangun rumah dengan cepat. Mengambil keputusan penting pun dilakukan bersama, tokoh-tokoh Baduy Dalam dan Baduy Luar melakukan musyawarah di balai (tempat pertemuan warga kampung dan dapat juga digunakan sebagai tempat bermain angklung). Wah, begitu banyak nilai-nilai yang dapat kita contoh dari masyarakat Baduy.

Sesampainya di Kampung Cibeo, kami langsung menghampiri sungai. Jalanan berlumpur akibat musim penghujan di bulan Januari membuat kami membersihkan diri dengan kesejukan sungai. Sungai tersebut berada di bawah jembatan yang menghubungkan antara kampung Cibeo dengan tempat leuit atau lumbung padi yang berjejer di luar yang menyambut kedatangan kami dari Baduy luar. Seperti sungai pada umumnya, air pada hulu sungai dikonsumsi dan hilir sungai digunakan sebaga tempat mandi dan kakus. Bagi para penjelajah harap bersiap untuk buang air dan mandi di alam terbuka, ya. Kami sendiri cukup kesulitan saat buang air kecil karena malu kalau sampai terlihat orang.

Matahari berpulang, suasana kampung Cibeo pun gelap gulita. Seharusnya malam di Baduy Dalam diisi dengan memandang bintang (stargazing) dan diskusi dengan Jaro, yaitu perpanjangan tangan dari Puun kampung namun apadaya jaro sudah lelap tertidur dan hujan turun dengan derasnya membuat kami tertahan di rumah Kang Nalim tempat kami bermalam. Waktu luang pun diisi dengan bercakap-cakap, diskusi mengenai hal-hal yang berat sampai yang ringan, bercanda tawa dan bermain kartu. Tidak ada televisi, tidak ada sinyal selular, tidak ada yang mengganggu kami dalam bersosialisasi. Hanya kopi seduh dan mie rebus yang menemani cerita dalam nyala tungku api penghantar kehangatan. Ah, sungguh saya rindu dengan suasana tenang dan syahdu. Saat sedang berbincang-bincang, kunang-kunang pun menyapa kami dengan sinar kerlap-kerlip menebas hujan yang masih mengguyur Cibeo.

Menjadi bagian dari Baduy Dalam membuat raga dan jiwa saya ingat rasanya menjadi manusia sederhana yang belum dipekakkan hiruk pikuk kota, manusia yang menghargai alam, manusia yang menghargai sesama manusia pula. Saya pun mengagumi nilai yang menjadi landasan mereka, penghormatan terhadap alam, gotong royong, kesederhanaan dan rasa kesatuan (walau dibedakan mnjadi Baduy Dalam dan Luar, mereka menganggap diri mereka satu Baduy). Alangkah baiknya jika para penjelajah bukan hanya menapakkan kaki dan memanjakan panca indera dari suatu perjalanan, melainkan juga menemukan makna dari perjalanan tersebut. Dalam perjalanan ke  Baduy, saya mendapatkan keduanya dan saya pun bersyukur karenanya. Saya pun yakin Anda dapat mengalami hal yang sama. Selamat berplesir!








Thursday, January 1, 2015

Lula, Ilmuwan Bergembira

Kicau burung membangunkan pagi Lula. Satu kedip, dua kedip, cahaya pagi mengintip malu-malu menyapa dua bola mata hijaunya. Jemari Lula meraba lembut tempat tidur dan mengirup aromanya : wangi biskuit vanilla dengan sedikit kayu manis, tadi malam ia tertidur setelah melahap satu loyang biskuit yang habis sebelum sempat dimasukkan ke dalam toples. Padahal biskuit itu ditujukan untuk bibi kesayangan di hari pertunangan beliau. Ia begitu lapar dan tergiur dengan biskuit itu sehingga memakan semuanya. Lula pun terduduk di atas tempat tidur dan meregangkan badannya bagai kucing puas tertidur. Yasudah, aku bikin lagi saja, pikirnya langsung melangkahkan kaki ke dapur. "Pagi Lula! Apakah kau lapar sekali hingga langsung pergi ke dapur begitu bangun? Kau membangunkanku tahu.", Rox, kucing tampan bermata biru berbulu putih yang seringkali angkuh menguap lebar. "Diam kau Rox, memangnya kau sendiri tidak pernah begitu? Kau lupa akan kerakusanmu? Dasar kucing sombong!", Usagi kelinci manis berbulu abu-abu tipis menjewer telinga Rox sampai kucing itu meringis. Keduanya pun langsung bertengkar. "Hei kalian, tidak bisa kah sambut pagi yang damai ini dengan tenang? Kalau tidak tenang, nanti Madam Kroetz dan anak-anaknya tidak akan menyanyi di sekitar sini loh." Madam Kroetz ialah burung kutilang bersuara merdu yang tiap pukul 8 pagi pergi mencari makan seraya bersenandung untuk menyemangati diri dan anak-anaknya. "Aku selalu menyimpan takjub pada pagi. Embunnya, udaranya, suasananya dan suara kicau nan merdu ini, ah terberkatilah mereka yang dapat menikmati pagi", kata Lula saat pertama kali mendengar paduan suara Kroetz.

Lula memanaskan tungku dan mengaduk adonan, lalu membentuk biskuit-biskuit cantik itu dengan cetakan bulan sabit dan bintang-bintang karena Bibi Zelda secantik langit malam. Tidak lupa ia mengambil ramuan #009 yang ditaburkan di atas biskuit sebelum masuk panggangan, ramuan kebahagiaan. Ya, Lula ialah penyihir cilik namun ia lebih senang disebut ilmuwan bergembira. ia mengambil saripati kehidupan kemudian meramunya menjadi formula yang dituangkan dalam botol-botol kecil terbuat dari kuarsa mengkilap yang begitu cantik. Setiap hari Lula menjelajahi hutan dan bereksperimen, begitu sering sampai ia dapat mendengar kuda berbicara, katak meledek dan kambing tertawa. Akhir-akhir ini bahkan ia sempat mendengar siulan bunga mawar liar. Pernah 2-3 kali ia bertemu peri hutan dan berbicara dengannya. Sungguh, peri hutan ialah wanita yang lembut lagi penyayang yang teduh bagai hutan yang dijaganya. 

Selesai! Biskuit-biskuit yang dipenuhi aroma kebahagiaan merekah membuat perut Lula berbunyi. "Hih memalukan sekali! Seorang gadis membunyikan perut di depan pemuda tampan." seperti biasa Rox bertingkah menyebalkan, tapi sepertinya komentarnya kali ini merupakan usaha untuk menutupi keinginannya menyantap biskuit-biskuit tersebut. "Duh maaf, aku lapar sekali nih.", ujar Lula memegang perutnya. "Aku sudah membuatkan sarapan di dapur luar, mari makan", teriak Usagi dari luar pondok. "Ah Usagi, kau benar-benar luar biasa!"

Setelah sarapan, Lula pun mandi dengan bantuan Lili, gajah kecil bertelinga besar. Biasanya ia melakukan ini jika sedang malas ke sungai atau sedang ingin buru-buru. Lula pun memakai baju terusan bunga-bunga biru dengan renda putih yang menghiasi kerah dan kedua bahunya dan menyikat rambut ikal sebahu kecoklatannya. Lula memasukkan toples kaca bepita birunya ke dalam tas jinjing kayunya, memakai sepatu yang telah dipoles dan bersiap ke tempat bibinya. Rox dan Usagi, serta Lili (yang masih belum pulang karena ingin bersantai minum teh) melambaikan tangannya "Hati-hati di jalan Lula!", ucap mereka mendoakan. "Sampai jumpa temang-teman!", balas Lula sambil berlari ke arah kota, tempat Bibinya berada, tempat semua hal begitu mirip satu sama lain.

-Bersambung-