Tuesday, September 1, 2015

Getir

Aku letih merasa getir
Kuangkat tangan dan melipir
Kulihat segerombolan mereka berlari ke arah sana. Satu titik. Entah kemana. Sebagian dari mereka tertatih, berwajah sedih. Sebagian menyimpul senyum, tampak yakin. Sementara aku masih berwajah keruh. menatap heran akan kesediaan mereka untuk tetap laju dan heran pula pada hentinya langkahku. Barusan aku merasa getir. Getir yang melintir. Ah aku tak tahan.Namun berbalik arah merupakan hal yang mubazir dan langkah ke depan sungguh melelahkan. Baik, biarkan aku rehat sejenak. Sambil terduduk berpeluh aku lihat mereka sudah berpasang-pasang. Waktu menuntun mereka menemukan satu sama lain. kadang waktu pula yang memisahkan dan menjauhkan. Walau nantinya mereka akan bertemu lagi. Mungkin.

Aku perhatikan kembali satu satu. Ada yang bergerak cepat berganti-ganti tempat menebar kotoran seperti lalat yang hinggap seenaknya tanpa malu mengurat. Namun langkahnya kemudian melambat dan ia pasrah, dan ia menerima. lalu ia berjalan lurus. lurus dan damai. Ada pula yang buta dan dituntun dengan baik, tapi ada yang tidak. Yang jelas mereka mengarah ke satu titik, begitu silau hingga tidak ada yang tahu hal apa yang ada setelahnya. Mereka melaju. Segerombolan dalam arus utama, arus terbanyak, sang mayoritas. Baiklah, aku akan berlari atau berlayar. Sebentar lagi. Aku rehat sejenak mempersiapkan peralatanku yang rusak karena termakan getir. Barusan tadi. Getir yang melintir.

No comments:

Post a Comment