Friday, August 31, 2018

Selamat Datang di Laboratorium Komputer 106!

Pukul dua lewat dua dua. Aku bertemu mata dengan sesosok lelaki berkemeja putih bercelana abu-abu. Ia langkahkankan kakinya masuki ruangan yang tersusun atas bata bercat putih itu. Aku memperhatikan rambut ikalnya yang legam, kumis tipis terpasang di atas bibir merahnya, kulitnya putih seakan hendak hilang ditelan ruangan, ruang laboratorium komputer bahasa 106 tempat aku dan dia berada pada detik ini. Siapa dia? Tanyaku berbisik pada layar komputer di depanku, layar komputer yang sepertinya keluaran terbaru berdimensi sekitar dua lima belas inchi. Di layar hitam itu tampak bingung mukaku. Layar komputer yang seakan menyadarkanku untuk bermuka tenang. Ah, aku tidak tenang. Entah mungkin karena hari ini hari pertama kuhadirkan ragaku di kelas bahasa ini atau itu karena tatap mataku bertemu dengan matanya dan ratus helai rambut ikalnya. Aku putuskan untuk berfokus pada ruang ini saja, laboratorium komputer 106. Ruangan berukuran kira-kira tujuh kali tujuh meter ini begitu terang disinari oleh para lampu yang terpasang di langit-langit ruangan. Lampu-lampu itu berbentuk silinder panjang dan berjejer membentuk barisan, seperti angkatan mau perang. Selain karena lampu yang relatif banyak, terangnya pun mungkin sebab cat putih yang memantulkan cahaya. Mengingat putihnya ruangan, mataku tergerak pada sosok lelaki berkulit bening itu yang kini duduk dua kursi di serong kanan depanku. Ia tidak membawa tas, hanya secarik kertas dan pena hitam yang berpangku pada jemarinya. Saat kuperhatikan pena, kepalanya pun tergerak ke arahku. Hampir saja aku tertangkap basah mengamati kalau saja aku tidak awas. Aku pun sadar dan mengarahkan pandang ke depan. Terlihat papan tulis berlapis kaca yang cemerlang. Mungkin sebab awal semester hingga papan kaca itu lebih bersih daripada papan kaca yang biasa kutemui. Di depan papan, orang-orang berlalu masuk dari arah pintu yang terletak di samping kiri ruangan dari sudut pandangku. Pintu bercat coklat itu seperti mulut rahim ibu yang mengantarkan anak-anaknya ke dunia kecil ini sekarang. Dunia kecil bernama ruang laboratorium komputer 106. Pukul dua lewat tiga dua. Pengajar belum juga datang. Bosan aku melihat pintu kayu berwarna coklat itu sehingga kulayangkan pandang pada sisi kanan ruangan. Sisi kanan ruangan itu anehnya tidak dihias bata, tetapi sebuah penutup ruang berteralis yang membuatku bertanya ruangan apa atau hal apa yang berada di balik penutup berteralis itu? Mungkin kelas ini dihubungkan dengan ruangan lain sehingga yang berada di baliknya ialah sebuah ruang kelas. Mungkin pula di baliknya ialah gudang tempat penyimpanan barang. Namun bagaimana jika di balik penutup ruangan berteralis bercat putih terang itu merupakan ruang tempat penyimpanan mayat yang hanya tersisa tulang belulang berbau busuk dan kesepian? Imajinasiku melayang. Kudukku meremang. Aku pun semakin tersentak menyadari kursi tempat lelaki berkulit bening itu telah kosong dan sekarang sosoknya berada tepat di sebelah kiriku, memangku dagu dan menatap tajam tapi lembut ke arahku. Aku tersentak dan aku salah tingkah. “Ada apa?”, kataku heran melihat dia melihatku. Ia hanya tersenyum dan memalingkan wajah. Pukul dua lewat empat tiga akhirnya sang penagajar pun menapakkan kaki pada lantai berwarna kelam ruangan 106 ini. Bangku-bangku yang berjumlah kira-kira 25 buah ini pun hampir semua terisi penuh. “Selamat siang!”, ucap sang pengajar membuka kelas sembari menutup pintu bernuansa coklat itu. “Maaf, saya terlambat tadi terdapat rapat mendadak.”, lanjutnya. Tidak lama pintu bernuansa coklat itu terbuka. Masuklah sesosok perempuan bercelana jeans dan berkaus putih dekil dengan kacamata bulat khas Jhon Lennon. Perempuan itu terengah-engah. Ia tahun dengan jelas kalau ia terlambat dari kelas yang dijadwalkan pukul dua siang. “Maaf, Pak.”, katanya masih dalam keadaan terengah mengatur nafas. Kemudian perempuan berambut pendek itu mengarah kepadaku. Lebih tepatnya ia mengarah pada kursi tempat laki-laki berambut ikal di sebelahku berada dan secara tiba-tiba hendak menaruh bokongnya di atasnya. Lelaki itu terkejut. Tapi keterkejutannya kalah oleh keterkejutanku. Keterkejutanku melihat badannya yang berhasil ditembus. Lelaki itu menjadi betul-betul ‘bening’. Sesaat sebelum menghilang, ia tertawa. Seketika pandanganku memburam. Kesadaranku hilang. Terdengar pekikan wanita di sebelah yang kaget melihatku pingsan. Ingin sekali kusampaikan pesan padanya : “Selamat datang awal semester, selamat datang di ruang laboratorium komputer 106! Semoga kau tidak melihat hal yang seharusnya tidak kau lihat!”